Sekilas Dampak Reklamasi Singapura
Reklamasi
Singapura Pemicu Konflik Delimitasi Perbatasan
Wilayah Indonesia-Singapura
Reklamasi
adalah proses perluasan wilayah yang dilakukan secara sengaja oleh negara
bersangkutan dengan melakukan pengerukan wilayah. Singapura melihat tanah sebagai salah satu kepentingan nasional yang
utama. Negeri ini sudah sejak tahun 1960 memiliki rencana jangka panjang atas
tanah ini. Cerainya mereka dari Malaysia di akhir tahun 1950-an dengan tanah
yang kecil, membuat mereka menyadari betul keterbatasan dan arti penting tanah.[1]Dan
Bagi
Singapura, reklamasi merupakan kebijakan nasional yang ditujukan bagi
kepentingan nasionalnya. Hal ini sejalan dengan kebijakan pembangunan fisik
Singapura dalam Concept
Plan 2001 yang didasari
atas visi Singapura 40 -50 tahun mendatang dengan proyeksi penduduk 5,5 juta
orang dengan peningkatan kebutuhan wilayah bagi perumahan, industri, rekreasi,
infrastruktur, penampungan air, keperluan militer, dan kebutuhan -kebutuhan
teknis pendukung operasional Bandara Changi. Sejalan dengan itu, Concept Plan 2001 menargetkan
reklamasi lanjutan Singapura untuk meningkatkan 15% luas wilayah Singapura tahun 2006.[2] Dengan
didasari oleh tiga pertimbangan yaitu pertama, jumlah pulau yang kecil. Kedua,
antisipasi terhadap jumlah penduduk yang akan berkembang. Ketiga, pertimbangan
ekonomi dan bisnis lainnya.[3]
Melalui
reklamasi,
wilayah daratan Singapura telah bertambah dari 580 km menjadi 680 km, atau dari
58.000 hektar menjadi 68.000 hektar.[4]
Proses reklamasi yang masih berjalan di
Singapura antara lain reklamasi pembangunan terminal III Bandara Changi, Pulau
Tekong, Tuas View Extention, dan Jurong Island tahap IV. Apabila proyek
reklamasi ini bisa diselesaikan, maka wilayah Singapura akan bertambah menjadi
seluas 15.214 hektar.[5]Dan
Sejak Singapura melakukan reklamasi pada 1966, luas wilayah Negara ini
bertambah hingga mencapai 697,2 km 2 dari luas wilayahnya pada 1960, yaitu
581,5 km persegi. Singapura juga memiliki masterplan reklamasi hingga
luas wilayahnya mencapai 774 km persegi pada tahun 2010. Hal ini berarti
wilayah Singapura akan bertambah hingga 160 km persegi.[6]
Reklamasi
Singapura tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Indonesia sebagai penyuplai
utama pasir laut dan pasir padat. Perusahaan-perusahaan Singapura melakukan
impor kebutuhan pasir untuk reklamasi tersebut dari Indonesia karena alasan ekonomis,
yaitu efisiensi dan efektifitas biaya yang dikeluarkan.[7] Faktor
lain yang mengaitkan reklamasi Singapura dengan Indonesia adalah posisi
reklamasi yang berhadapan langsung dengan wilayah kedaulatan Indonesia di
Kepulauan Mau. Perbatasan Indonesia - Singapura ini berjarak tidak lebih dari
24 mil. Jarak terjauh perbatasan antara Indonesia dengan Singapura pascareklamasi
adalah 14,33 km di perbatasan Pulau Nongsa (Indonesia) dengan Changi. Airport
(Singapura), sedangkan jarak terdekat adalah 4,54 km di perbatasan pulau Batu
Berhanti (Indonesia) dengan Pulau Sakijang Pelepah (Singapura) (Kompas, 17
Maret 2007). Itulah sebabnya, kecuali Negara tidak memungkinkan untuk memiliki
laut teritorial sejauh 12
mil.
Oleh karena itu, diperlukan pembicaraan antara kedua negara untuk menentukan
penetapan garis teritorial seperti diatur dalarn pasal 15 UNCLOS 1982.
Proyek
reklamasi menimbulkan ketegangan antara pihak Indonesia dengan Singapura. Dari
pihak Indonesia, reklamasi dikhawatirkan mengganggu kedaulatan teritorial
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan adanya reaksi keras dari berbagai elemen,
seperti pernyataan Ketua DPR Agung Laksono, yang mengatakan bahwa Pernerintah
Indonesia sebaiknya menarik Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Ashok Kumar
Mirpuri, sebagai bentuk protes terhadap sikap Pernerintah Singapura yang
tentang menambah daratan negaranya hingga 12
mil
laut menjorok ke wilayah daratan Indonesia.[8] Hal
serupa juga dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum,
dan Keamanan Widodo A.S., yang mengingatkan bahwa ekspor pasir dari Kepulauan
Riau untuk Singapura bisa menggeser garis perbatasan laut Indonesia -Singapura.
Senada dengan Widodo, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berencana melayangkan
nota protes keberatan jika reklamasi Singapura memengaruhi pertahanan dan
keamanan di Tanah Air.[9]
Menurut
Johan Galtung, untuk melihat potensi konflik akibat proses reklamasi yang
dilakukan oleh Singapura, maka dapat digunakan teori segitiga konflik. Dia
mengatakan bahwa konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan
kontradiksi sikap (A) dan perilaku (B) pada
puncak-puncaknya.[10] Melalui
segitiga konflik ini, kita bisa melihat bahwa dalam sebuah konflik yang tidak
simetris, kontradiksi ditentukan oleh pihak –pihak yang bertikai, hubungan
mereka, dan benturan kepentingan interen antara mereka dalam berhubungan. Sikap
yang dimaksud termasuk persepsi pihak-pihak bertikai dan kesalahan persepsi
antara mereka dan dalam diri mereka sendiri. Jadi, ketika ada perbedaan
persepsi atau ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku dapat dikatakan terjadi
sebuah konflik. Selain itu, Fischer mengatakan bahwa konflik adalah huhungan
antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang
merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Dalam perilaku konflik,
ada yang dinamakan sebuah konflik laten, dimana ketika konflik tersebut
sifatnya tersembunyi dan belum diangkat ke permukaan.[11]
Dengan demikian, potensi konflik
dapat dilihat dari adanya ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku
sehingga terjadi sebuah incompability
atau ketidaksesuaian.[12]
Ketidaksesuaian sikap dan perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
konflik laten ketika belum muncul di permukaan. Hal ini terjadi pada kasus
reklamasi Singapura. Potensi konflik yang terjadi akibat proses reklamasi yang
dilakukan oleh Singapura adalah sebuah bentuk perilaku konflik laten, karena
ada indikasi terjadi fakta incompability di lapangan antara Indonesia
dan Singapura. Akan
tetapi, perilaku
konflik tersebut belum muncul di permukaan. Karena sampai saat ini, pemerintah
Indonesia dan Singapura secara diplomatic mengatakan bahwa tidak ada masalah
perbatasan di antara keduanya, namun fakta di lapangan menunjukkan terjadinya incompability
di
daerah
perbatasan Indonesia -Singapura, sekitar daerah reklamasi.
Indonesia dan Singapura telah
menyepakati batas maritime internasional di Selat Singapura. Kedua negara
menandatangani perjanjian batas laut territorial pada tanggal 25 Mei 1973, yang menetapkan enam
titik batas yang lebih dikenal dengan sebutan
v-line sebagai titik
belok garis batas. Sejak kedua negara meratifikasi, maka perjanjian tersebut
secara resmi berlaku dan mengikat secara hukum. Patut diperhatikan, perjanjian
tersebut ternyata belum menyelesaikan delimitasi Batas maritim untuk
keseluruhan kawasan maritim yang seharusnya didelimitasi. Perjanjian perbatasan
tahun 1973 hanya menyepakati 6 titik seperti disebutkan di atas. Sementara itu,
masih ada segmen di sebelah barat dan timur yang harus diselesaikan. Sedangkan,
Singapura sendiri sangat aktif melakukan reklamasi dan konstruksi pelabuhan,
yang berakibat pada perubahan bentuk pantainya. Reklamasi secara signifikan
telah menggeser garis pantai Singapura ke arah selatan atau ke arah kedaulatan
wilayah Indonesia.
Satu hal penting yang belum
tercantum dalam perjanjian perbatasan Indonesia -Singapura 1973 adalah tidak
disebutkannya datum geodesi (referensi geodesi) secara eksplisit.[13]
Datum geodesi secara sederhana adalah referensi, sehingga koordinat di muka
bumi menjadi bermakna dan bisa diketahui posisinya di muka bumi. Sedangkan
secara ilmiah, datum geodesi adalah mengacu pada system dengan parameter
tertentu meliputi pusat sistem dan orientasinya terhadap pusat bumi.[14] Dalam
perjanjian perbatasan Indonesia -Singapura tahun 1973 tidak disebutkan datum
geodesi secara spesifik. Artinya, koordinat keenam titik yang ada dalam
perjanjian tersebut (u-line) tidak dapat ditentukan posisinya di
permukaan bumi. Memang, perjanjian perbatasan Indonesia-Singapura sudah rnemuat
koordinat, tetapi tidak disebutkan dan ditentukan referensi datum geodesinya,
sehingga sebenarnya tidak bisa ditentukan posisi pastinya di permukaan bumi.
Indonesia
sebagai negara yang berdaulat, memiliki hak untuk mempertahankan setiap jengkal
tanahnya. Hal ini sesuai dengan konsep wawasan nusantara, bahwa terdapat dua
objek pandangan yaitu: objek pandangan dari dalam keluar (internal view point)
dan objek pandangan dari luar ke dalam (internal view point), dua objek
pandangan ini sama pentingnya.[15]
Objek pandangan dari dalam keluar adalah objek pandangan terhadap berbagai
persoalan yang menyangkut keutuhan wilayah Wawasan Nusantara itu sendiri.
Sedangkan objek pandangan dari luar ke dalam yaitu objek pandangan yang khusus
melakukan studi terhadap atau wilayah yang langsung berpengaruh terhadap
eksistensi Wawasan Nusantara.
Namun,
dalam batas-batas tertentu kedaulatan ini tunduk pada pembatasan-pembatasan
jika bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam hukum internasional,
sebagaimana yang dikemukakan oleh I Wayan Parthiana:
Pembatasan-pembatasan
itu sendiri tidak lain adalah hukum internasional dan kedaulatan dari sesama
negara lainnya. Suatu negara yang berdaulat tetap tunduk pada hukum
internasional maupun tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara
lainnya.[16]
Cara penetapan perbatasan dilakukan berdasarkan :[17]
- Ketentuan-ketentuan tidak tertulis (kebiasaan)
- Ketentuan-ketentuan tertulis (traktat-traktat dan perjanjian)
Ketentuan
tidak tertulis umumnya diperoleh berdasarkan petunjuk-petunjuk yang sifatnya
praktis seperti ras, bahasa, cara hidup, kebudayaan yang berbeda atau ciri-ciri
alamiah yang telah lama diakui sebagai batas tradisional, atau
pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh pengausa local, atau kepala
adat/kepala suku. Perbatasan-perbatasan semacam ini pada dasarnya sulit untuk
dijadikan sebagai bukti hukum jika terjadi sengketa, namun metode ini sangat
kuat artinya untuk menunjang penetapan yang lebih akurat melalui
ketentuan-ketentuan tertulis. Pada ketentuan tertulis dipakai untuk lebih
menjamin keakuratan batas-batas wilayah dan dapat dijadikan bukti hukum jika
terjadi sengketa. Ketentuan-ketentuan tertulis umumnya berupa dokumen-dokumen,
peta-peta, perjanjian-perjanjian perbatasan yang disusun berdasarkan hasil
survey dan pemetaan yang seksama dan disusun dalam waktu cukup lama. Survey dan
pemetaan perbatasan ini umumnya melibatkan dua belah pihak, dengan membentuk
komite bersama seperti antara Indonesia-Papua New Guini yang dinamakan Join Technical Committee for Survey and
Democration of the Boundary and Maping of the Border Areas. Guna menjamin
keadilan dan menghindarkan salah penafsiran di kemudian hari.[18]
Maka dari itu
pemerintahan Indonesia tidak boleh diam saja terhadap tindakan Singapura dan
harus lebih mencermati kembali mengenai posisi dan batas wilayah teritorial di
perbatasan tersebut. Buang jauh-jauh
perasaan takut hubungan kedua akan terganggu, karena tidak ada yang bisa
menjamin bila reklamasi tidak akan menimbulkan masalah. Dalam penentuan batas
laut tentu akan menjadi masalah, dari segi ekosistem juga merusak alam
sekitarnya, sehingga akan mengganggu juga perekonomian para nelayan karena
ekosistem laut yang sebagai penghasilan mereka rusak. Disini kita dapat
menyimpulkan bahwa reklamasi tersebut sangat merugikan Indonesia. Permasalahan
ini harus segera diselesaikan, karena seiring dengan selesainya reklamasi
Singapura ini maka secara de facto Singapura yang telah menduduki dan menguasai
wilayah tersebut memiliki posisi yang kuat dalam penentuan batas wilayah.
Permasakahan akan semakin rumit lagi ketika mereka telah mendapatkan investor
untuk menyiapkan rencana pembangunan bagi daratan hasil reklamasi tersebut. Selain
itu, pemerintah perlu mengintensifkan kembali pengamanan di perbatasan laut
Indonesia-Singapura. Sekaligus, mengatasi pula indikasi adanya penyelundupan
pasir daratan dan laut di batas territorial Indonesia untuk kepentingan
kebijakan reklamasi pemerintah Singapura itu. Sebab, upaya pemerintah Singapura
untuk memperluas wilayahnya lewat reklamasi itu bisa dimaknai sebagai suatu
ancaman pula atas kedaulatan NKRI di pulau-pulau terluar.
[1] Huala Adolf, Tragedi Sipadan-Ligitan Babak Kedua?, Kompas, Senin 14 Februari
2005
[2]KIIRI Singapura,
2004: 31-32
[3] Ibid.
[4] Reldamasi Versus
Kedaulatan, 2004: 35
[5] KBRI Singapura, 2004: 35
[6] Laporan Akhir Departemen
Kelantan dan Perikanan, 2003
[7] Tempo, 26 Februari -4 Maret
2007
[8]
SuaraKarya, 22 Februari 2007
[9]
Kompas, 17 Maret 2007
[10]
Miall, et.al., 2000: 20-21
[11]
Fischer, 2001: 6
[12]
Miall, et.al., 2000: 20-21
[13]
Warsana, 2007
[14]
Geodetic Datum of Indonesia Mariam Boundaries: Status and Problem,
Hasanuddin, Z. Abidin dkk
[15]
Sumitro L.S. Danuredjo, Hukum
Internasional Laut Indonesia, Bharatara, Jakarta, 1971, hal. 34
[16]
Wayan Parthiana, Pengantar Hukum
Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 60
[17]
Ibid
[18] Ibid
Komentar
Posting Komentar