Sekilas Mengenai Persengketaan Ambalat



Sengketa Ambalat

Ambalat merupakan blok laut dengan luas 15.235 kilometer persegi yang terletak dilaut Sulawesi atau selat makasar. Dengan potensi minyaknya yang kurang lebih menyimpan cadangan potensial 764 Juta barel minyak dan 1,4  Triliun kaki kubik gas dalam satu titik diblok Ambalat tersebut. Hal ini lah pemicu terjadinya sengketa di Ambalat.
Pada tahun 1967, pertama kali dilakukan pertemuan teknis hukum laut antar Indonesia dan Malaysia. Lalu pada tanggal 27 Oktober 1969 kedua belah pihak ini melakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia,[1] kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca). Hal ini tentu saja sangat membingungkan Indonesia dan Singapura yang pada akhirnya Indonesia dan Singapura tidak mengakui prta baru yang dibuat Malaysia tersebut.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia[2]. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik.[3] Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Disini masyarakat Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Dalam hukum internasiononal publik, dikenal dua macam sengketa internasional, yaitu sengketa hukum (legal or judical disputes) dan sengketa politik (political or nonjusticiable disputes).[4] Sengketa internasional secara teoritis pada pokoknya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional. Sesulit apapun seuatu sengketa, sekalipun tidak ada pengaturannya. Pengadilan internsional tampaknya bisa memutuskannya dengan bergantung pada prinsip kepatutan dan kelayakan (exaequo et bono). Berdasarkan Pasal 33 Konvensi Den Haag 1899 pada intinya penyelesaian sengketa secara damai dibagi dalam dua kelompok. Penyelesaian secara diplomatik (Negosiasi, penyidikan , mediasi Konsiliasi). Dan penyelesaian secara hukum (Arbritase, Pengadilan ).[5]
Prospek penyelesaian sengketa Ambalat pada saat ini tengah berlangsung pada tahap penyelesaian memalaui jalur diplomatik, dalam perundingannya tahap pertama masing-masing pihak telah menyampaikan posisi dasar dan landasan yuridisnya. Dan diharapkan pada tahapan senajutnya agar dapat dieksplorasi cara penyelesaian mengenai tumpang tindih kalim para pihak atas Ambalat. Meskipun pada tahap pertama Indonesia bisa dikatakan berpeluang tinggi atas argumentasi yuridisnya, namun hal itu belum tentu dapat meyakinkan Malaysia. Sehingga tidak tertutup kemungkinan akan menghadapi jalan buntu (Dead Lock).
            Disini kita harus mengambil pelajaran dari proses perebutan Sipadan-Ligitan, maka dalam kasus Ambalat ini Indonesia harus lebih berhati-hati dan menjaga agar tidak terjebak. Dalam kasus Sipadan-Ligitan ternyata Mahkamah Internasional di Den Haag tidak mau melihat argumentasi hokum dan sejarah, namun lebih menekankan kepada keseriusan Negara pihak dalam mengurus asset. Maka dari itu dalam adu argumentasi nanti harus lebih diperkuat hingga dapat memerinci saat-saat paling mutakhir. Harus dikaji juga secara lebih mendalam sejauh mana peran dan keterlibatan Shell dalam kasus ini. Indonesia juga harus bersikap tegas dan konsisten dalam mempertahankan Ambalat, oleh karenannya untuk kedepan Indonesia harus lebih siap lagi dalam menghadapi Malaysia.


[1] ^ "Continenetal Shelf Boundary: Indonesia-Malaysia" (PDF), International Boundary Study Series a Limit in the Seas 1(map)
[2] ^ "Indonesia-Malaysia Territorial Sea Boundary" (PDF), International Boundary Study Series a Limit in the Seas 50 (map)
[4] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa International, Sinar Grafika, Bandung, 2004,hlm.3
[5] Ibid., hlm. 15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Dampak Reklamasi Singapura

Menelusuri Lebih Dalam Poros Maritim Dunia